Kamis, 03 Mei 2012

KEBUDAYAAN MENCONTEK DI KALANGAN PARA PELAJAR


Kata menyontek mungkin sudah tidak asing lagi bagi pelajar dan mahasiswa. Setiap orang pasti ingin mendapat nilai yang baik dalam ujian, dan sudah tentu berbagai macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Masalah menyontek selalu terkait dengan tes atau ujian. Banyak orang beranggapan menyontek sebagai masalah yang biasa saja, namun ada juga yang memandang serius masalah ini.

Fenomena ini sering terjadi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah atau madrasah, tetapi jarang kita dengar masalah menyontek dibahas dalam tingkatan atas, cukup diselesaikan oleh guru atau paling tinggi pada tingkat pimpinan sekolah atau madrasah itu sendiri.
 Sudah dimaklumi bahwa orientasi belajar siswa-siswi di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, lebih banyak kemampuan kognitif dari afektif dan psikomotor, inilah yang membuat mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan praktek mencontek.
Proses belajar yang orientasinya hanya untuk mendapatkan nilai menurut Megawangi , biasanya hanya melibatkan aspek kognitif (hafalan dan drilling), dan tidak melibatkan aspek afektif, emosi, sosial, dan spiritual. Memang sulit untuk mengukur aspek-aspek tersebut, sehingga bentuk soal-soal pasti hafalan atau pilihan berganda (kognitif). Pelajaran agama, PPKN, dan musik yang seharusnya melibatkan aspek afektif, ternyata juga di "kognitifkan" (hafalan) sehingga tidak ada proses refleksi dan apresiasi.
Menyontek atau menjiplak atau ngepek menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Purwadarminta adalah mencontoh, meniru, atau mengutip tulisan, pekerjaan orang lain sebagaimana aslinya. Dalam artikel yang ditulis oleh Alhadza (2004) kata menyontek sama dengan cheating. Beliau mengutif pendapat Bower (1964) yang mengatakan cheating adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah/terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis. Sedang menurut Deighton (1971), cheating adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang tidak fair (tidak jujur).
Menyontek dapat dikatagorikan dalam dua bagian ; pertama menyontek dengan usaha sendiri; kedua dengan kerjasama. Usaha sendiri disini adalah dengan membuat catatan sendiri, buka buku, dengan alat bantu lain seperti membuat coretan-coretan dikertas kecil, rumus ditangan, di kerah baju, bisa juga dengan mencuri jawaban teman Kerjasama dengan teman dengan cara membuat kesepakatan terlebih dahulu dan membuat kode-kode tertentu atau meminta jawaban kepada teman.


Dalam makalah yang ditulis Alhadza (2004) yang termasuk dalam kategori menyontek antara lain adalah meniru pekerjaan teman, bertanya langsung pada teman ketika sedang mengerjakan tes/ujian, membawa catatan pada kertas, pada anggota badan atau pada pakaian masuk ke ruang ujian, menerima dropping jawaban dari pihak luar, mencari bocoran soal, arisan (saling tukar) mengerjakan tugas dengan teman, menyuruh atau meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas ujian di kelas atau tugas penulisan paper dan take home test.
Menurut, Dien F. Iqbal, dosen Fakultas Psikologi Unpad, seperti yang dikutip Rakasiwi (2007) orang menyontek disebabkan faktor dari dalam dan di luar dirinya. Dalam ilmu psikologi, ada yang disebut konsep diri dan harga diri. Konsep diri merupakan gambaran apa yang orang-orang bayangkan, nilai dan rasakan tentang dirinya sendiri. Misalnya, anggapan bahwa, "Saya adalah orang pintar". Anggapan itu lalu akan memunculkan kompenen afektif yang disebut harga diri. Namun, anggapan seperti itu bisa runtuh, terutama saat berhadapan dengan lingkungan di luar pribadinya. Di mana sebagai kelompok, maka harus sepenanggungan dan senasib. Senang bersama, duka mesti dibagi.
Cheating atau mencontek bisa terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi underpressure, atau apabila dorongan atau harapan untuk berprestasi jauh lebih besar dari pada potensi yang dimiliki. Semakin besar harapan atau semakin tinggi prestasi yang diinginkan dan semakin kecil potensi yang dimiliki maka semakin besar hasrat dan kemungkinan untuk melakukan cheating. Dalam hal seperti itu maka, perilaku cheating tinggal menunggu kesempatan atau peluang saja, seperti kita dengar iklan di televisi mengatakan tentang teori kriminal bahwa kejahatan akan terjadi apabila bertemu antara niat dan kesempatan.
Menurut Alhadza (2004) dalam makalahnya mengenai masalah menyontek yang ia istilahkan dengan cheating menyebarkan kuesioner dengan pertanyaan terbuka kepada sekitar 60 orang teman mahasiswa di PPS UNJ. Dari hasil kuisioner tersebut didapatkan jawaban tentang alasan seseorang melakukan cheating dengan pengelompokan sebagai berikut :
·         Karena terpengaruh setelah melihat orang lain melakukan cheating meskipun pada awalnya tidak ada niat melakukannya.
·          Terpaksa membuka buku karena pertanyaan ujian terlalu membuku (buku sentris) sehingga memaksa peserta ujian harus menghapal kata demi kata dari buku teks.
·         Adanya peluang karena pengawasan yang tidak ketat.
·          Takut gagal. Yang bersangkutan tidak siap menghadapi ujian tetapi tidak mau menundanya dan tidak mau gagal.
·         Ingin mendapatkan nilai tinggi tetapi tidak bersedia mengimbangi dengan belajar keras atau serius.
·          Tidak percaya diri. Sebenarya yang bersangkutan sudah belajar teratur tetapi ada kekhawatiran akan lupa lalu akan menimbulkan kefatalan, sehingga perlu diantisipasi dengan membawa catatan kecil.
·         Terlalu cemas menghadapi ujian sehingga hilang ingatan sama sekali lalu terpaksa buka buku atau bertanya kepada teman yang duduk berdekatan..
·         Mencari jalan pintas dengan pertimbangan daripada mempelajari sesuatu yang belum tentu keluar lebih baik mencari bocoran soal.
Dampak yang timbul dari praktek menyontek yang secara terus menerus dilakukan akan mengakibatkan ketidakjujuran Jika tidak, niscaya akan muncul malapetaka: peserta didik akan menanam kebiasaan berbuat tidak jujur, yang pada saatnya nanti akan menjadi kandidat koruptor. (Poedjinoegroho, 2006) .
Pengajaran yang orientasinya siswa mampu menjawab soal dan bukan pada pengertian serta pengembangan inovasi dan kreatifitas siswa akan menumbuhkan kebosanan, kejenuhan, suasana monoton yang dapat berakibat stress. Sudah waktunya sistem pendidikan kita bersifat two way communication antara guru/dosen dan siswa/mahasiswa. Kelompok kerja makalah, presentasi, pembuatan alat peraga, studi lapangan (misalnya ke pabrik salah satu orang tua siswa) kiranya lebih digiatkan daripada menimbuni siswa/mahasiswa dengan soal-soal yang banyak tapi dikerjakan dengan menyontek.
Jika masalah mencontek ini masih saja dianggap sepele oleh semua orang, tidak akan respon dan tanggapan dari guru, kepala sekolah, pengawas, dinas pendidkan para pakar pendidikan dan pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan, penulis pesimis dunia pendidikan akan maju, kreatifitas siswa akan hilang yang tumbuh mungkin orang-orang yang tidak jujur yang bekerja disemua sektor kehidupan.
perbuatan mencontek ini susah sekali untuk dihilangkan namun dapat dijauhkan atau paling tidak meminimalisir dangan cara memberikan motivasi kepada mereka agar percaya diri, yakin akan kemampuannya dan selalu berbuat jujur. Untuk menentukan nilai siswa hasil ulangan atau ujian bukan menjadi ukuran, karena pengalaman sebagai siswa sudah cukup memberi pelajaran bahwa semua siswa ingin dihargai, namun yang pantas dihargai adalah siswa yang jujur dalam segala hal. Sehingga penulis punya catatan tentang kemampuan siswa, karakteristiknya data-data keluarga dan lain sebagainya.
Dan juga semua komponen yang terlibat langsung dalam dunia pendidikan untuk memerangi masalah menyontek atau cheating bagi pelajar dalam ulangan atau ujian yang diberikan oleh guru, sekolah maupun pemerintah (Ujian Nasional). Karena sistem sekarang ini masih menggunakan penilaian nasional, maka yang terpenting kita sebagai subyek pendidikan yang berlaku jujur dalam mengelola pendidikan. Guru dalam menilai harus jujur, pengawas harus jujur mengawasi para siswa, kepala sekolah harus jujur dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Jangan malu dan takut dikatakan gagal meluluskan siswa-siswinya dalam ujian.