Sabtu, 09 Februari 2013

AYAT KETUJUH


"Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat".


Dalam memilih jalan kehidupan, manusia terbagi menjadi tiga golongan. Golongan pertama ialah orang-orang yang memilih jalan Allah, dan meletakkan kehidupan pribadi dan masyarakat mereka di atas dasar undang-undang dan perintah-perintah yang telah Allah jelaskan di dalam Kitab-Nya. Golongan ini selalu tercakup oleh rahmat dan nikmat Ilahi yang khusus.

Golongan kedua berada di dalam keadaan yang berlawanan dengan golongan pertama. Mereka ini meskipun mengetahui adanya kebenaran, namun tetap saja menolak Allah bahkan lari menuju kepada selain-Nya. Mereka ini lebih mengutamakan hawa nafsu mereka, hasrat buruk orang-orang dekat dan keluarga serta masyarakat mereka daripada keinginan dan kehendak Allah SWT.

Kelompok ini secara perlahan memperlihatkan akibat-akibat perbuatan dan perilaku mereka di dalam keberadaan mereka. Sedikit demi sedikit mereka menjauh dari shirath al-mustaqhim dan bukan menuju ke arah rahmat Allah SWT dan rahmat-Nya. Mereka terpelosok masuk ke jurang kesengsaraan dan kesusahan serta menjadi sasaran kemurkaan dan kemarahan Ilahi yang disebut oleh ayat ini sebagai orang yang `maghdluubi 'alaihim`, orang-orang yang dimurkai.

Sementara itu, kelompok ketiga ialah orang-orang yang tidak memiliki jalan yang jelas dan tertentu. Mereka ini disebut sebagai orang-orang yang bingung dan tidak mengetahui. Di dalam ayat ini, mereka disebut sebagai `dlollin`, atau orang-orang yang sesat.

Dalam setiap salat kita mengatakan, `ihdinash shiraathal mustaqiim`, yang artinya, "Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus". Jalan yang dilalui oleh para Nabi, auliya', orang-orang suci dan orang-orang yang lurus.  Mereka yang selalu berada di bawah curahan rahmat dan nikmat-nikmat khusus-Mu. Dan jauhkanlah kami dari jalan orang-orang yang telah menyimpang dari kemanusiaan dan menjadi sasaran kemurkaan-Mu, juga dari jalan orang-orang yang kebingungan dan sesat.

Siapakah orang-orang yang sesat itu? Di dalam Al Qur'an banyak kelompok dan kaum yang disebut dengan sebutan di atas. Di sini kita akan menyinggung salah satu contohnya yang jelas dan nyata.

Al Qur'an menyebut Bani Israil, yang sejarah kehidupan mereka berada di bawah kekuasaan Fir'aun hingga mereka diselamatkan oleh Nabi Musa AS, sebagai umat yang pernah memperoleh rahmat dan anugerah Allah yang tak terhingga berkat ketaatan mereka kepada perintah-perintah-Nya. Bahkan Allah SWT telah melebihkan mereka dari segenap bangsa di atas muka bumi. Hal ini dapat kita baca dalam ayat 47 surat Al-Baqarah yang artinya:
"Wahai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang ku berikan kepada kalian dan bahwa Aku telah mengutamakan kalian di atas segenap penghuni alam".

Akan tetapi karena perbuatan dan tingkah mereka di kemudian hari, maka Bani Israil ini juga ditimpa murka Ilahi. Dalam hal ini Allah SWT berfirman,
`Wa baauu bi ghadlabin minallaah`. Artinya, "Merekapun ditimpa murka Allah". Karena para pemuka agama Yahudi suka mengubah-ubah ajaran-ajaran samawi di dalam kitab Taurat, `yuharriful kalima 'an mawaadli'ihi`. Selain itu, mereka juga suka memakan uang hasil riba dan perbuatan-perbuatan haram lainnya, `wa aklihimur riba` .

Kemudian, masyarakat umum Yahudi pun di kemudian harinya juga suka memburu kesenangan duniawi dan terbuai oleh kemewahan hidup sehingga mereka enggan berjuang membela agama dan tanah air. Karenanya, ketika Nabi Musa as mengajak mereka untuk berjuang mengusir penjajah dari tanah air mereka, mereka berkata, “Idzhab anta wa rabbuka faqaatilaa innaa hahunaa qoo'iduun”, artinya, “Pergilah kamu dan Tuhanmu untuk berperang, sedangkan kami akan menunggu di sini”.

Orang-orang yang tergolong baik diantara umat Yahudi ini juga diam tanpa berbuat sesuatu saat menyaksikan penyimpangan dan kesesatan ini. Akibatnya, kaum ini juga terperosok ke dalam jurang kehinaan padahal sebelumnya mereka berada di puncak kemuliaan

Beberapa hal berikut ini dapat kita jadikan sebagai pelajaran dari ayat yang telah kita pelajari ini.
Pertama, dalam memilih jalan yang  lurus, kita memerlukan teladan yang telah disebutkan oleh Allah di dalam ayat 69 surat An-Nisa', yaitu para Nabi, shiddiqiin (orang-orang yang mengakui kebenaran), syuhada' dan sholihin. Mereka adalah orang-orang yang selalu mendapatkan rahmat, inayah, dan nikmat-nikmat Allah SWT.
Kedua, meskipun segala sesuatu yang datang dari Allah SWT merupakan nikmat, namun kemurkaan Alah akan datang menimpa kita jika maksiat kita lakukan. Oleh karena itu, berkenaan dengan nikmat Ilahi, Al Qur'an mengatakan, `an'amta` artinya, "Engkau telah memberi nikmat". Namun, ketika berbicara tentang kemurkaan Al Qur'an tidak mengatakan `ghadlibta` yang artinya, "Engkau telah murka", melainkan mengatakan `maghdlubi alaihim`. Kata-kata  `maghdlubi alaihim  adalah sifat yang menunjukkan lebih kekalnya kemurkaan tersebut.

AYAT KE-ENAM


"Tunjukilah kami jalan yang lurus"



Untuk kehidupan manusia terdapat bermacam-macam jalan. Jalan yang ditentukan sendiri oleh manusia berdasarkan keinginan dan tuntutan-tuntutan pribadi, jalan yang dilalui oleh masyarakat, jalan yang dilewati oleh orang-orang tua dan orang-orang bijak kita, jalan yang digariskan untuk masyarakat oleh para taghut dan penguasa lalim, jalan kelezatan lahiriyah duniawi, atau jalan uzlah atau pengasingan diri dari segala bentuk aktifitas sosial.

Di antara sekian banyak jalan dan berbagai cara hidup, apakah manusia tidak memerlukan petunjuk untuk dapat menemukan jalan yang lurus?  Allah telah mengutus para nabi dan menurunkan kitab-kitab samawi.  Dan hidayah kita terletak pada ketaatan dan kesungguhan kita dalam mentaati Rasulullah SAWW, Ahlul Bait, dan AlQuranul Karim.  Oleh sebab itulah dalam setiap salat kita memohon kepada Allah agar menunjuki kita jalan-Nya yang terang dan lurus.

Jalan lurus adalah jalan tengah dan moderat.  Jalan yang lurus berarti jalan keseimbangan dan kemoderatan di dalam segala urusan serta keterjauhan dari segala bentuk sifat ekstrim.  Sebagian orang dalam menerima pokok-pokok akidah mengalami penyimpangan, sementara sebagian yang lain dalam amal perbuatan dan akhlak, dan yang lain menisbatkan segala perbuatan kepada Allah sehingga menurut mereka manusia tak lagi memiliki kehendak dan peran dalam menentukan nasib sendiri.  Ada pula orang lain yang menganggap dirinyalah yang menentukan segala urusan dan pekerjaan sehingga menurut mereka Allah SWT tak lagi memiliki peran sama sekali.

Sebagian orang kafir menganggap para pemimpin agama Ilahi sebagai manusia biasa dan bahkan martabatnya lebih rendah lagi, sebagai orang gila, misalnya.  Di lain pihak, sebagian orang yang mengaku beriman menganggap beberapa nabi seperti Nabi Isa Al-Masih as sedemikian tinggi derajatnya sehingga mencapai batas ketuhanan.   Pikiran semacam ini menunjukkan penyimpang dari jalan yang lurus yang dicontohkan oleh Rasulullah SAWW dan Ahlul Bait as.

Al Qur'an Al Karim juga memerintahkan kita agar menjaga keseimbangan dan jalan tengah dalam urusan ibadah, ekonomi dan sosial. Beberapa ayat berikut ini adalah contoh yang akan kita tampilkan: Di dalam ayat 31 surat Al-A'raf, Allah SWT berfirman yang artinya:"Makan dan minumlah, akan tetapi janganlah kalian berlebihan". Di dalam ayat 110 surat Al-Isra' Allah SWT berfirman yang artinya: "Janganlah kalian meninggikan bacaan shalat kalian dan janganlah memelankannya. Carilah jalan tengah di antara keduanya". Demikian pula di dalam ayat 67 surat Al-Furqan, Allah SWT berfirman:  "Dan orang-orang yang jika menafkahkan harta, tidak berlebihan dan tidak pula terlalu kikir. Mereka mengambil jalan tengah di antara keduanmya".

Islam sangat menekankan agar anak berbakti dan berlaku baik terhadap kedua orang tuanya, dan berkata, `wabil waalidaini ihsaanaa` yang artinya, "Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua". Sungguhpun demikian, Al Qur'an juga mengatakan, `falaa thuti` humaa artinya, "Jangan engkau mentaati keduanya", yaitu ketika kedua orang tua mengajak kepada perbuatan tidak baik.

Kepada orang yang mengejar ibadah dengan mengasingkan diri dari masyarakat, atau orang yang beranggapan bahwa mengabdi kepada rakyat adalah satu-satunya ibadah, Al Qur'an mengajukan shalat dan zakat secara bergandengan dalam ayatnya yang berbunyi, `aqiimush shalata wa aatuz zakaah` artinya "Dirikanlah shalat dan keluarkanlah zakat".

Kita tahu bahwa salat adalah hubungan antara makhluk dengan Khaliq. Sedangkan zakat adalah hubungan antara sesama makhluk. Orang-orang beriman yang sebenarnya adalah mereka yang memiliki dua unsur sekaligus, yaitu daya tolak dan daya tarik. Di dalam ayat terakhir surat Al-Fath, Allah SWT berfirman,
"Muhammad adalah utusan Allah. Dan orang-orang yang bersamanya bersifat keras terhadap orang-orang kafir tetapi berlemah lembut terhadap sesama".
               
 Adapun poin yang dapat kita ambil sebagai pelajaran dari ayat ke 6 surat Al-Fatihah ini adalah sebagai berikut:
Pertama, jalan kebahagiaan adalah jalan yang lurus yaitu shirat al-mustustaqim. Karena:
 - Jalan Allah yang lurus bersifat tetap, berbeda dengan jalan-jalan atau cara hidup yang dibuat oleh manusia yang setiap saat berubah-ubah.
 - Jarak terpendek antara dua titik adalah garis lurus yang merupakan sebuah jalan yang tidak lebih dan sama sekali tidak memiliki belokan dan tanjakan. Sehingga dalam waktu yang sangat singkat ia akan membawa manusia sampai ke tujuan.
Kedua, dalam memilih jalan juga dalam usaha bertahan untuk tetap berada di atas jalan yang lurus, kita harus memohon pertolongan dari Allah. Karena kita selalu berada dalam ancaman kekeliruan dan kesesatan. Dan jangan dikira bahwa selama ini kita tidak pernah mengalami kesesatan dan penyimpangan dan kita pun akan selamanya berada di jalan yang lurus. Betapa banyak manusia di antara kita yang telah menghabiskan sebagian umurnya dengan iman, namun dia melupakan Allah ketika telah memperoleh kekayaan atau pangkat dan kedudukan.

Oleh karena pengenalan jalan yang lurus adalah pekerjaan yang sulit, maka ayat selanjutnya selain menampilkan para teladan bagi kita agar dapat mencontoh mereka dalam rangka menemukan jalan yang lurus ini, juga menampilkan orang-orang yang menyimpang dari jalan ini agar kita tidak tersesat seperti mereka.

 

AYAT KELIMA




"Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada-Mu-lah kami meminta pertolongan."


Di dalam ayat-ayat yang lalu Allah telah kita kenal bahwa Dia itu Rahman dan Rahim serta Rabbul `Alamin juga Maliki Yaumiddin. Sementara oleh karena kehebatan ciptaan-Nya dan nikmat-nikmat-Nya yang tak terhitung yang Dia curahkan kepada kita, maka kita mengucapkan syukur dan pujian kepadanya dengan mengatakan Alhamdulillahi rabbil `alamin.

Sudah sepatutnyalah jika sekiranya kita menghadapkan diri kita kepadanya, dan seraya mengakui ketidakmampuan dan kelemahan kita maka kita juga mengatakan bahwa kita adalah hamba-hamba-Nya yang tulus. Kita ucapkan, Ya Allah, hanya dihadapan perintah-Mu-lah kami menundukkan kepala, bukan dihadapan perintah selain-Mu. Kami bukanlah hamba-hamba emas dan kekayaan duniawi juga bukan budak-budaknya kekuatan dan kekuasaan imperialis. 

Oleh karena solat yang merupakan manifestasi ibadah dan penyembahan Tuhan ditunaikan secara berjamaah maka umat Islam satu suara di dalam satu barisan secara kompak menyatakan 'iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin' , yaitu bahwa bukan hanya aku melainkan kami semua adalah hamba-hamba-Mu dan kepada-Mulah kami memohon pertolongan.  Ya Allah bahkan ibadah yang kami tunaikan ini pun adalah berkat pertolongan-Mu.  Jika Engkau tidak menolong kami, niscaya kami akan menjadi hamba dan budak selain-Mu.

Kesimpulan yang dapat diambil sebagai pelajaran dari ayat ini ialah sebagai berikut: 
Pertama, meskipun undang-undang yang menguasai alam materi dan formula-formula fisika dan kimia kita yakini, namun semua itu berada di bawah kekuasaan Allah dan di bawah kehendak-Nya. Karenanya, kita harus berserah diri kepada Allah, bukan kepada alam.  Hanya kepada Allah kita memohon bantuan, termasuk dalam urusan materi. 
Kedua, jika dalam setiap solat dengan sepenuh hati dan khusyuk kita nyatakan bahwa kita hanya menghambakan diri kepada Allah, maka kita tidak akan menjadi orang yang congkak dan takabur.