TAWURAN ANTAR PELAJAR
Tawuran antar pelajar merupakan fenomena sosial yang sudah dianggap lumrah oleh masyarakat di Indonesia. Bahkan ada sebuah pendapat yang menganggap bahwa tawuran merupakan salah satu kegiatan rutin dari pelajar yang menginjak usia remaja. Tawuran antar pelajar sering terjadi di kota-kota besar yang seharusnya memiliki masyarakat dengan peradaban yang lebih maju.
Para pelajar remaja yang sering melakukan aksi tawuran tersebut lebih senang melakukan perkelahian di luar sekolah daripada masuk kelas pada kegiatan belajar mengajar. Tawuran tersebut telah menjadi kegiatan yang turun temurun pada sekolah tersebut. Sehingga tidak heran apabila ada yang berpendapat bahw tawuran sudah membudaya atau sudah menjadi tradisi pada sekolah tertentu.
Kerugian yang disebabkan oleh tawuran tidak hanya menimpa korban dari tawuran saja, tetapi juga mengakibatkan kerusakan di tempat mereka melakukan aksi tersebut. Tentunya kebanyakan dari para pelaku tawuran tidak mau bertanggung jawab atas kerusakan yang mereka timbulkan. Biasanya mereka hanya lari setelah puas melakukan tawuran. Akibatnya masyarakat menjadi resah terhadap kegiatan pelajar remaja. Keresahan tersebut sendiri merupakan kerugian dari tawuran yang bersifat psikis. Keresahan ini akan menimbulkan rasa tidak percaya terhadap generasi muda yang seharusnya menjadi agen perubahan bangsa. Dari segi politik, hal tersebut dimanfaatkan oleh para pemegang otoritas untuk melanggengkan status quo-nya. Mereka memanfaatkannya dengan cara membangun opini publik bahwa para pemuda di Indonesia masih balum mampu menduduki otoritas kekuasaan politis di Indonesia.
Tawuran antar pelajar yang marak terjadi di Jakarta, salah satu penyebabnya adalah gagalnya pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Itu sebabnya, sekolah dalam hal ini guru perlu mencari solusi agar persoalan pendidikan karakter ini bisa ditanamkan kepada setiap diri siswa.
Jika pendidikan karakter ini sudah tertanam pada setiap diri siswa, Rektor Universitas Muhammadiyah Prof Hamka (Uhamka) Prof Suyatno yakin bahwa tidak hanya persoalan tawuran antar pelajar yang bisa terselesaikan. Karena dalam pendidikan karakter, tidak hanya mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang bertanggungjawab, tetapi sekaligus mengajarkan tentang nilai-nilai kebaikan dalam hidup. Seperti nilai penghargaan pada guru dan orangtua, keimanan dan ketakwaan, ahklak mulia dan sebagainya.
Suyatno mengatakan bahwa pendidikan karakter yang selama ini diberikan bersifat integral dengan mata pelajaran lain. Tidak diberikan secara khusus kepada siswa. Padahal pendidikan karakter ini bisa diberikan secara khusus melalui ilmu-ilmu sosial. “Sayangnya, dalam dunia pendidikan, ilmu sosial seperti kurang diminati oleh masyarakat,” lanjut Suyatno.
Ilmu sosial dikatakan Suyatno hanya akan dipandang oleh masyarakat jika pecah kerusuhan, muncul tawuran pelajaran dan tindak kekerasan lain. “Sepertinya ilmu sosial hanya sekedar menjadi pemadam kebakaran saja,” tambahnya. Itu sebabnya, ia menilai perlunya upaya-upaya dari guru ilmu sosial untuk mendongkrak dan mengubah imej ilmu sosial ini. Bahwa ilmu sosial keberadaannya sejajar dan sama pentingnya dengan ilmu eksakta.