Kata menyontek mungkin
sudah tidak asing lagi bagi pelajar dan mahasiswa. Setiap orang pasti ingin
mendapat nilai yang baik dalam ujian, dan sudah tentu berbagai macam cara
dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Masalah menyontek selalu terkait dengan
tes atau ujian. Banyak orang beranggapan menyontek sebagai masalah yang biasa saja,
namun ada juga yang memandang serius masalah ini.
Fenomena ini sering
terjadi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah atau madrasah, tetapi jarang
kita dengar masalah menyontek dibahas dalam tingkatan atas, cukup diselesaikan
oleh guru atau paling tinggi pada tingkat pimpinan sekolah atau madrasah itu
sendiri.
Sudah dimaklumi bahwa orientasi belajar siswa-siswi di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, lebih banyak kemampuan kognitif dari afektif dan psikomotor, inilah yang membuat mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan praktek mencontek.
Sudah dimaklumi bahwa orientasi belajar siswa-siswi di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, lebih banyak kemampuan kognitif dari afektif dan psikomotor, inilah yang membuat mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan praktek mencontek.
Proses belajar yang
orientasinya hanya untuk mendapatkan nilai menurut Megawangi , biasanya hanya
melibatkan aspek kognitif (hafalan dan drilling), dan tidak melibatkan aspek
afektif, emosi, sosial, dan spiritual. Memang sulit untuk mengukur aspek-aspek
tersebut, sehingga bentuk soal-soal pasti hafalan atau pilihan berganda
(kognitif). Pelajaran agama, PPKN, dan musik yang seharusnya melibatkan aspek
afektif, ternyata juga di "kognitifkan" (hafalan) sehingga tidak ada
proses refleksi dan apresiasi.
Menyontek atau
menjiplak atau ngepek menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan W.J.S.
Purwadarminta adalah mencontoh, meniru, atau mengutip tulisan, pekerjaan orang
lain sebagaimana aslinya. Dalam artikel yang ditulis oleh Alhadza (2004) kata
menyontek sama dengan cheating. Beliau mengutif pendapat Bower (1964) yang
mengatakan cheating adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah
untuk tujuan yang sah/terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau
menghindari kegagalan akademis. Sedang menurut Deighton (1971), cheating adalah
upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara
yang tidak fair (tidak jujur).
Menyontek dapat
dikatagorikan dalam dua bagian ; pertama menyontek dengan usaha sendiri; kedua
dengan kerjasama. Usaha sendiri disini adalah dengan membuat catatan sendiri,
buka buku, dengan alat bantu lain seperti membuat coretan-coretan dikertas kecil,
rumus ditangan, di kerah baju, bisa juga dengan mencuri jawaban teman Kerjasama
dengan teman dengan cara membuat kesepakatan terlebih dahulu dan membuat
kode-kode tertentu atau meminta jawaban kepada teman.
Dalam makalah yang
ditulis Alhadza (2004) yang termasuk dalam kategori menyontek antara lain
adalah meniru pekerjaan teman, bertanya langsung pada teman ketika sedang
mengerjakan tes/ujian, membawa catatan pada kertas, pada anggota badan atau
pada pakaian masuk ke ruang ujian, menerima dropping jawaban dari pihak luar,
mencari bocoran soal, arisan (saling tukar) mengerjakan tugas dengan teman,
menyuruh atau meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas ujian di
kelas atau tugas penulisan paper dan take home test.
Menurut, Dien F. Iqbal,
dosen Fakultas Psikologi Unpad, seperti yang dikutip Rakasiwi (2007) orang
menyontek disebabkan faktor dari dalam dan di luar dirinya. Dalam ilmu
psikologi, ada yang disebut konsep diri dan harga diri. Konsep diri merupakan
gambaran apa yang orang-orang bayangkan, nilai dan rasakan tentang dirinya
sendiri. Misalnya, anggapan bahwa, "Saya adalah orang pintar".
Anggapan itu lalu akan memunculkan kompenen afektif yang disebut harga diri.
Namun, anggapan seperti itu bisa runtuh, terutama saat berhadapan dengan
lingkungan di luar pribadinya. Di mana sebagai kelompok, maka harus sepenanggungan
dan senasib. Senang bersama, duka mesti dibagi.
Cheating atau mencontek
bisa terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi underpressure, atau apabila
dorongan atau harapan untuk berprestasi jauh lebih besar dari pada potensi yang
dimiliki. Semakin besar harapan atau semakin tinggi prestasi yang diinginkan
dan semakin kecil potensi yang dimiliki maka semakin besar hasrat dan
kemungkinan untuk melakukan cheating. Dalam hal seperti itu maka, perilaku
cheating tinggal menunggu kesempatan atau peluang saja, seperti kita dengar
iklan di televisi mengatakan tentang teori kriminal bahwa kejahatan akan
terjadi apabila bertemu antara niat dan kesempatan.
Menurut Alhadza (2004)
dalam makalahnya mengenai masalah menyontek yang ia istilahkan dengan cheating
menyebarkan kuesioner dengan pertanyaan terbuka kepada sekitar 60 orang teman
mahasiswa di PPS UNJ. Dari hasil kuisioner tersebut didapatkan jawaban tentang
alasan seseorang melakukan cheating dengan pengelompokan sebagai berikut :
·
Karena terpengaruh setelah melihat orang
lain melakukan cheating meskipun pada awalnya tidak ada niat melakukannya.
·
Terpaksa
membuka buku karena pertanyaan ujian terlalu membuku (buku sentris) sehingga
memaksa peserta ujian harus menghapal kata demi kata dari buku teks.
·
Adanya peluang karena pengawasan yang
tidak ketat.
·
Takut gagal. Yang bersangkutan tidak siap
menghadapi ujian tetapi tidak mau menundanya dan tidak mau gagal.
·
Ingin mendapatkan nilai tinggi tetapi
tidak bersedia mengimbangi dengan belajar keras atau serius.
·
Tidak percaya diri. Sebenarya yang
bersangkutan sudah belajar teratur tetapi ada kekhawatiran akan lupa lalu akan
menimbulkan kefatalan, sehingga perlu diantisipasi dengan membawa catatan
kecil.
·
Terlalu cemas menghadapi ujian sehingga
hilang ingatan sama sekali lalu terpaksa buka buku atau bertanya kepada teman
yang duduk berdekatan..
·
Mencari jalan pintas dengan pertimbangan
daripada mempelajari sesuatu yang belum tentu keluar lebih baik mencari bocoran
soal.
Dampak
yang timbul dari praktek menyontek yang secara terus menerus dilakukan akan
mengakibatkan ketidakjujuran Jika tidak, niscaya akan muncul malapetaka:
peserta didik akan menanam kebiasaan berbuat tidak jujur, yang pada saatnya
nanti akan menjadi kandidat koruptor. (Poedjinoegroho, 2006) .
Pengajaran
yang orientasinya siswa mampu menjawab soal dan bukan pada pengertian serta
pengembangan inovasi dan kreatifitas siswa akan menumbuhkan kebosanan,
kejenuhan, suasana monoton yang dapat berakibat stress. Sudah waktunya sistem
pendidikan kita bersifat two way communication antara guru/dosen dan
siswa/mahasiswa. Kelompok kerja makalah, presentasi, pembuatan alat peraga,
studi lapangan (misalnya ke pabrik salah satu orang tua siswa) kiranya lebih
digiatkan daripada menimbuni siswa/mahasiswa dengan soal-soal yang banyak tapi
dikerjakan dengan menyontek.
Jika
masalah mencontek ini masih saja dianggap sepele oleh semua orang, tidak akan
respon dan tanggapan dari guru, kepala sekolah, pengawas, dinas pendidkan para
pakar pendidikan dan pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan, penulis
pesimis dunia pendidikan akan maju, kreatifitas siswa akan hilang yang tumbuh
mungkin orang-orang yang tidak jujur yang bekerja disemua sektor kehidupan.
perbuatan
mencontek ini susah sekali untuk dihilangkan namun dapat dijauhkan atau paling
tidak meminimalisir dangan cara memberikan motivasi kepada mereka agar percaya
diri, yakin akan kemampuannya dan selalu berbuat jujur. Untuk menentukan nilai
siswa hasil ulangan atau ujian bukan menjadi ukuran, karena pengalaman sebagai
siswa sudah cukup memberi pelajaran bahwa semua siswa ingin dihargai, namun yang
pantas dihargai adalah siswa yang jujur dalam segala hal. Sehingga penulis
punya catatan tentang kemampuan siswa, karakteristiknya data-data keluarga dan
lain sebagainya.
Dan
juga semua komponen yang terlibat langsung dalam dunia pendidikan untuk
memerangi masalah menyontek atau cheating bagi pelajar dalam ulangan atau ujian
yang diberikan oleh guru, sekolah maupun pemerintah (Ujian Nasional). Karena
sistem sekarang ini masih menggunakan penilaian nasional, maka yang terpenting
kita sebagai subyek pendidikan yang berlaku jujur dalam mengelola pendidikan.
Guru dalam menilai harus jujur, pengawas harus jujur mengawasi para siswa,
kepala sekolah harus jujur dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Jangan malu
dan takut dikatakan gagal meluluskan siswa-siswinya dalam ujian.