Kondisi sektor
telematika saat ini memang tidak sekritis sektor infrastruktur lainnya seperti
ketenagalistrikan, jalan, dan perhubungan. Namun, jika tidak dicermati dan
diantisipasi dengan saksama, mungkin sektor telematika di Indonesia hanya
menjadi pasar gemuk barang-barang konsumtif yang akhirnya berpotensi
meninabobokan rakyat dan melemahkan daya saing bangsa.
Di samping mendorong
pola hidup konsumtif, pada kenyataannya telematika sudah mulai memperburuk
situasi “keliru budaya” seperti bertelepon, menonton televisi atau DVD, serta
berkirim pesan singkat (SMS) sembari mengemudi di jalan raya. Suatu kondisi
yang secara langsung memperparah tingkat kemacetan yang berujung kepada rasa
kesal, mudah marah, dan stres pengguna jalan di kota besar.
Di sisi lain,
terlambatnya operator menggelar jaringan telepon tetap telah menjadikan Indonesia
tertinggal. Rendahnya penetrasi telepon tetap (di bawah empat persen) yang
ditingkahi oleh mahalnya tarif internet telah menutup peluang publik
memanfaatkan telematika untuk memperbaiki tingkat sosial dan ekonomi
mereka.Telepon seluler atau ponsel memang telah menjadi alternatif
bertelekomunikasi. Namun, kesenjangan digital (digital divide) semakin melebar.
Meski sudah mulai
merambah ke daerah, ponsel terkonsentrasi di kota-kota besar. Tidak jarang
sebuah keluarga memiliki lebih dari empat ponsel, sedangkan masyarakat di
pedesaan belum memiliki akses. Tidak bisa dimungkiri bahwa perkembangan
industri telematika selalu berjalan lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan
pemerintah dalam menyiapkan regulasi dan kebijakan. Kondisi yang sama juga terjadi
di negara maju atau negara berkembang lainnya.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar