"Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat".
Dalam
memilih jalan kehidupan, manusia terbagi menjadi tiga golongan. Golongan
pertama ialah orang-orang yang memilih jalan Allah, dan meletakkan kehidupan
pribadi dan masyarakat mereka di atas dasar undang-undang dan perintah-perintah
yang telah Allah jelaskan di dalam Kitab-Nya. Golongan ini selalu tercakup oleh
rahmat dan nikmat Ilahi yang khusus.
Golongan
kedua berada di dalam keadaan yang berlawanan dengan golongan pertama. Mereka
ini meskipun mengetahui adanya kebenaran, namun tetap saja menolak Allah bahkan
lari menuju kepada selain-Nya. Mereka ini lebih mengutamakan hawa nafsu mereka,
hasrat buruk orang-orang dekat dan keluarga serta masyarakat mereka daripada
keinginan dan kehendak Allah SWT.
Kelompok
ini secara perlahan memperlihatkan akibat-akibat perbuatan dan perilaku mereka
di dalam keberadaan mereka. Sedikit demi sedikit mereka menjauh dari shirath
al-mustaqhim dan bukan menuju ke arah rahmat Allah SWT dan rahmat-Nya.
Mereka terpelosok masuk ke jurang kesengsaraan dan kesusahan serta menjadi
sasaran kemurkaan dan kemarahan Ilahi yang disebut oleh ayat ini sebagai orang
yang `maghdluubi 'alaihim`, orang-orang yang dimurkai.
Sementara
itu, kelompok ketiga ialah orang-orang yang tidak memiliki jalan yang jelas dan
tertentu. Mereka ini disebut sebagai orang-orang yang bingung dan tidak
mengetahui. Di dalam ayat ini, mereka disebut sebagai `dlollin`, atau
orang-orang yang sesat.
Dalam
setiap salat kita mengatakan, `ihdinash shiraathal mustaqiim`, yang
artinya, "Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus". Jalan yang
dilalui oleh para Nabi, auliya', orang-orang suci dan orang-orang yang
lurus. Mereka yang selalu berada di bawah curahan rahmat dan
nikmat-nikmat khusus-Mu. Dan jauhkanlah kami dari jalan orang-orang yang telah
menyimpang dari kemanusiaan dan menjadi sasaran kemurkaan-Mu, juga dari jalan
orang-orang yang kebingungan dan sesat.
Siapakah
orang-orang yang sesat itu? Di dalam Al Qur'an banyak kelompok dan kaum yang
disebut dengan sebutan di atas. Di sini kita akan menyinggung salah satu
contohnya yang jelas dan nyata.
Al Qur'an
menyebut Bani Israil, yang sejarah kehidupan mereka berada di bawah kekuasaan
Fir'aun hingga mereka diselamatkan oleh Nabi Musa AS, sebagai umat yang pernah
memperoleh rahmat dan anugerah Allah yang tak terhingga berkat ketaatan mereka
kepada perintah-perintah-Nya. Bahkan Allah SWT telah melebihkan mereka dari
segenap bangsa di atas muka bumi. Hal ini dapat kita baca dalam ayat 47 surat
Al-Baqarah yang artinya:
"Wahai Bani Israil,
ingatlah nikmat-Ku yang ku berikan kepada kalian dan bahwa Aku telah
mengutamakan kalian di atas segenap penghuni alam".
Akan
tetapi karena perbuatan dan tingkah mereka di kemudian hari, maka Bani Israil
ini juga ditimpa murka Ilahi. Dalam hal ini Allah SWT berfirman,
`Wa
baauu bi ghadlabin minallaah`. Artinya, "Merekapun ditimpa murka
Allah". Karena para pemuka agama Yahudi suka mengubah-ubah ajaran-ajaran
samawi di dalam kitab Taurat, `yuharriful kalima 'an mawaadli'ihi`.
Selain itu, mereka juga suka memakan uang hasil riba dan perbuatan-perbuatan
haram lainnya, `wa aklihimur riba` .
Kemudian,
masyarakat umum Yahudi pun di kemudian harinya juga suka memburu kesenangan
duniawi dan terbuai oleh kemewahan hidup sehingga mereka enggan berjuang
membela agama dan tanah air. Karenanya, ketika Nabi Musa as mengajak mereka
untuk berjuang mengusir penjajah dari tanah air mereka, mereka berkata, “Idzhab
anta wa rabbuka faqaatilaa innaa hahunaa qoo'iduun”, artinya, “Pergilah
kamu dan Tuhanmu untuk berperang, sedangkan kami akan menunggu di sini”.
Orang-orang
yang tergolong baik diantara umat Yahudi ini juga diam tanpa berbuat sesuatu
saat menyaksikan penyimpangan dan kesesatan ini. Akibatnya, kaum ini juga
terperosok ke dalam jurang kehinaan padahal sebelumnya mereka berada di puncak
kemuliaan
Beberapa
hal berikut ini dapat kita jadikan sebagai pelajaran dari ayat yang telah kita
pelajari ini.
Pertama,
dalam memilih jalan yang lurus, kita memerlukan teladan yang telah
disebutkan oleh Allah di dalam ayat 69 surat An-Nisa', yaitu para Nabi, shiddiqiin
(orang-orang yang mengakui kebenaran), syuhada' dan sholihin.
Mereka adalah orang-orang yang selalu mendapatkan rahmat, inayah, dan
nikmat-nikmat Allah SWT.
Kedua,
meskipun segala sesuatu yang datang dari Allah SWT merupakan nikmat, namun
kemurkaan Alah akan datang menimpa kita jika maksiat kita lakukan. Oleh karena
itu, berkenaan dengan nikmat Ilahi, Al Qur'an mengatakan, `an'amta`
artinya, "Engkau telah memberi nikmat". Namun, ketika berbicara
tentang kemurkaan Al Qur'an tidak mengatakan `ghadlibta` yang artinya,
"Engkau telah murka", melainkan mengatakan `maghdlubi alaihim`.
Kata-kata `maghdlubi alaihim adalah sifat yang menunjukkan
lebih kekalnya kemurkaan tersebut.